Minggu, 03 April 2011

Abel Xavier: Umumkan Keislamannya Saat Mundur dari Lapangan Bola

Bila Anda penggemar sepakbola dan sempat menyaksikan pertandingan semifinal Piala Eropa 2000 antara Portugal vs Prancis, pasti tidak akan lupa pada peristwa handsball kontroversial di kotak penalti yang dilakukan oleh pemain Portugal yang menyebabkan tim tersebut tersingkir dari perhelatan sepakbola negara-negara Eropa tersebut secara tragis. Pemain Portugal tersebut tak lain adalah Abel Xavier.

Sosok Abel Xavier diingat bukan hanya karena permainannya di lapangan hijau, namun juga karena penampilannya yang terbilang nyentrik. Bek asal Portugal ini memang dikenal senang menata rambutnya. Selama merumput di lapangan hijau, ia pernah tampil dengan rambut vysvetlennye dan jambang berwarna blonde. Di lain kesempatan, ia mengecat jambang dan rambutnya dengan warna putih dan tetap menyisakan warna hitam di bagian akar rambutnya.

Dan, di penghujung karirnya sebagai pesepakbola, lagi-lagi ia membuat gempar para pecinta sepakbola dunia dengan pengakuannya bahwa dirinya telah menjadi seorang mualaf pada pertengahan Desember 2009 silam. Ia pun mengganti namanya dengan Faisal Xavier.

Abel Luis da Silva Costa Xavier atau lebih dikenal dengan Abel Xavier lahir pada 30 November 1972 di Mozambik. Ia memulai karir sebagai pesepakbola profesional saat bergabung bersama Estrela da Amadora pada usia 18 tahun. Tiga tahun kemudian ia bergabung dengan SL Benfica, klub sepakbola yang bermain di ajang liga utama kompetisi sepakbola Portugal. Ia merumput bersama Benfica selama dua musim (1993-1995). Di klub elite tersebut Xavier berhasil membawa klub berjuluk The Eagle ini menjadi juara Liga Portugal.

Talenta yang hebat sebagai defender membuat banyak klub Eropa tertarik padanya. Namun, ia lebih memilih bergabung bersama AS Bari, sebuah klub gurem di Liga Serie A Italia. Saat membela Bari, karir Xavier tidak begitu cemerlang sehingga ia dijual oleh klubnya ke klub La Liga Spanyol Real Oviedo pada 1996. Di klub barunya ini Xavier tidak bertahan lama. Pada tahun 1998, klub sepakbola asal Negeri Belanda, PSV Eindhoven, memboyongnya.

Lagi-lagi Xavier tidak bertahan lama merumput di Belanda. Ia kemudian mencoba peruntungannya di ajang Liga Primer Inggris. Ia tercatat pernah membela Everton FC (1999-2002) dan Liverpool FC (2002-2003). Saat terikat kontrak dengan Liverpool, Xavier sempat bermain bersama klub sepakbola asal Turki, Galatasaray SK, dengan status sebagai pemain pinjaman.

Xavier juga sempat mencicipi kompetisi Bundesliga selama satu musim (2003-2004) bersama Hannover 96. Ia kemudian memilih bergabung dengan AS Roma (2005) dan Middlesbrough FC (2005-2007) sebelum akhirnya hijrah ke Amerika Serikat pada tahun 2007. Di Negeri Paman Sam ini ia bergabung dengan klub MLS (Major League Soccer) yang pernah mengontrak David Beckhan, Los Angeles (LA) Galaxy.

Keputusan Xavier meninggalkan Middlesbrough dikarenakan ingin mencari tantangan baru dan menolak tawaran kontrak baru dari Boro. Kepindahannya ke Amerika Serikat pun sangat disayangkan beberapa klub di Inggris mengingat persepakbolaan Amerika Serikat masih dalam tahap berkembang. Keputusannya tersebut dinilai justru akan mengakhiri karir sepakbola Xavier.

Kekhawatiran banyak pihak bahwa karir Xavier akan berakhir di LA Galaxy terbukti adanya. Setelah bermain selama satu musim, manajemen LA Galaxy memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak Xavier menyusul perselisihan yang terjadi antara dirinya dengan sang pelatih Ruud Gullit.

Perselisihan antara pemain dan pelatih ini bermula dari keputusan Gullit yang mendatangkan pemain baru untuk mengisi posisi yang ditempati Xavier. Pemain tersebut aadalah Eduardo Dominguez yang berasal dari klub Liga Klausura (Liga Argentina), Huracan. Kepada kantor berita Associated Press (AP), Xavier mengungkapkan bahwa dia merasa kecewa terhadap keputusan Gullit. Seperti dilansir AP, Xavier berkata, "Gullit melakukan hal yang saya anggap sangat arogan. Sebagai pemain, dia tergolong hebat. Namun sebagai pelatih, dia bukan apa-apa."

Mempelajari Islam
Setelah dikeluarkan dari LA Galaxy, Xavier kesulitan mencari klub sehingga ia pun otomatis tidak lagi merumput di lapangan hijau. Hal tersebut tentu saja membuat hidupnya makin terpuruk. Dalam keadaan terpuruk, Xavier mengaku menemukan kenyamanan dalam Islam. Dia pun akhirnya memutuskan untuk mempelajari Islam.

''Pada saat-saat sedih, saya telah menemukan kenyamanan dalam Islam. Perlahan-lahan, saya belajar agama yang mengedepankan perdamaian, kesetaraan, kebebasan dan harapan ini,'' paparnya.

Pada tanggal 23 Desember 2009, dalam sebuah konferensi pers yang digelar di stadion Ras Al Khaimah di Uni Emirat Arab, Xavier mengumumkan perihal keislamannya dan nama barunya, Faisal Xavier. Dalam konferensi pers tersebut, ia juga mengumumkanpengunduran dirinya dari lapangan hijau untuk selamanya. ''Ini perpisahan emosional dan saya berharap untuk ikut serta dalam sesuatu yang sangat memuaskan dalam babak baru hidup saya,'' kata Faisal.

Faisal tidak bercerita lebih panjang mengenai bagaimana dirinya mempelajari Islam. Ia hanya berterima kasih kepada keluarga besar Kerajaan Uni Emirat Arab. ''Mereka memeluk saya dan membuat saya merasa istimewa.'' Interaksinya dengan keluarga kerajaan Uni Emirat Arab semakin membuka matanya dalam menilai Islam.

Keputusannya ini menjadi berita besar di berbagai media massa dunia. Meski berat harus meninggalkan dunia yang telah memberinya limpahan materi dan ketenaran, Faisal mengaku ikhlas. Ia pun merasa berutang budi karena hidupnya sekarang yang boleh dikatakan berhasil. Apalagi setelah pindah agama dan menjadi seorang muslim, dia belajar banyak hal tentang kepedulian, perhatian, dan empati kepada sesama. Menjadi seorang muslim baginya adalah menjadikan dirinya bermanfaat bagi kehidupan untuk sesama.

Setelah tidak lagi bermain bola, Xavier kini mengisi hidupnya dengan melakukan berbagai kegiatan amal serta aktif di berbagai kegiatan kemanusiaan. Salah satunya dengan ikut ambil bagian dalam proyek-proyek kemanusiaan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang akan bermanfaat bagi kehidupan jutaan orang di Afrika. Disamping ia juga bekerja dalam industri film Amerika Serikat (AS). 
sumber : republika

Jumat, 18 Maret 2011

Knud Valdemar, Mualaf Asal Denmark yang Melawan Penjajahan Italia

Knud Valdemar Gylding Holmboe lahir pada 22 April 1902, sebagai anak tertua dari keluarga pedagang yang terpandang di kota Horsens, Denmark. Sejak remaja, Knud sudah tertarik dengan ilmu filsafat dan agama dan dalam usia muda, Knud sudah bekerja sebagai wartawan magang dan menulis untuk sejumlah koran lokal di Denmark.

Pada usia 20 tahun, Knud menyatakan memeluk agama Katolik dan tinggal di sebuah seminari di Clairvaux, Prancis. Dengan cepat ia membaur dalam kehidupan biara dan ingin memperdalam ilmu agamanya ke tempat lain. Tahun 1924, ia pun pergi ke Maroko dan di negara inilah ia malah mengenal Islam.

Knud sering menemui seorang syaikh di sebuah masjid kecil di kawasan pegunungan di negara itu. Dari pertemuan-pertemuan itu, Knud menyadari bahwa hatinya terpaut pada Islam. Setahun kemudian, ia pun mengucapkan dua kalimat syahadat.

Pulang ke Denmark, Knud menerbitkan buku pertamanya "Poems" berisi tulisan-tulisannya tentang kematian, kehidupan, keyakinan dan gurun pasir. Tak lama setelah buku pertama, Knud menerbitkan buku tentang pengalamannya selama tinggal di Maroko berjudul "Between the Devil and The Deep Sea – a dash by plane to seething Morocco”.

Tahun 1925, Knud melakukan perjalanan ke Timur Tengah, mulai dari Suriah, Palestina, Yordania, Irak dan Persia. Ia menyaksikan sendiri pertikaian politik di Baghdad dan Palestina, yang menjadi cikal bakal ketidakstabilan situasi Timur Tengah hingga sekarang.

Setelah Timur Tengah, pada tahun 1927, ia mengunjungi kawasan Balkan bersama isterinya yang baru dinikahinya. Di Albania, ia menyaksikan bagaimana orang-orang Italia menindas komunitas Muslim. Knud menulis dan mengirimkan banyak artikel serta foto apa yang ia saksikan di Albania ke media massa di Denmark. Salah satunya yang memicu kontroversial adalah artikel Knud tentang tindakan penguasa Italia menggantung seorang pendeta Katolik terkemuka Albania. Cerita itu menyebar ke seluruh Eropa dan membuat otoritas Italia marah besar.

Saat kembali ke Denmark, Knud mencoba keberuntungannya dengan menjadi editor di sebuah koran lokal. Tapi kesulitan ekonomi membuatnya memilih meninggalkan Denmark. Bersama istrinya, Nora dan puterinya, Aisha, Knud pindah ke Maroko. Knud juga mengganti namanya menjadi Ali Ahmed El Gheseiri, yang merupakan terjemahan bebas nama asli Knud ke dalam bahasa Arab.

Ikut Jihad Melawan Italia
Tahun 1930, Knud melakukan perjalanan yang membuatnya menjadi terkenal. Dengan menggunakan mobil Chevrolet Model 1929 dari Maroko melintasi gurun Sahara menuju Mesir. Saat melewati Libya, Knud lagi-lagi menyaksikan perlakun buruk penguasa Italia yang saat itu menjajah Libya, terhadap masyarakat Muslim di negeri itu. Orang-orang Italia itu menggantung, mengeksekusi, menyerang, menyiksa penduduk Muslim serta merusak sumber nafkah mereka sehingga penduduk Muslim di Libya hidup dalam kemiskinan.. Knud menulis dan mengambil foto-foto apa yang disaksikannya di Libya.

Pengusa Italia di Libya tidak tinggal diam. Mereka menangkap Knud di kota Derna dan mengusir Knud dari Libya. Sejak itu, Knud memutuskan untuk bergabung dengan gerakan perlawanan rakyat Libya yang dipimpin oleh Syaikh Omar Al-Mokhtar.

Knud tetap melanjutkan perjalanannya ke Mesir. Di negeri Piramida itu, ia berjuang keras meyakinkan masyarakat Muslim di Mesir untuk membantu jihad muslim Libya melawan penjajahan Italia. Knud sedang bersiap-siap membawa bantuan dengan karavan ke kota Al-Kufra, Libya, ketika duta besar Italia untuk Mesir meminta otoritas Inggris dan Mesir menangkap dan menjebloskan Knud ke penjara. Sebulan lamanya ia mendekam di penjara, lalu dipulangkan dengan kapal laut ke negara asalnya, Denmark.

Di Denmark, Knud menuliskan kekejaman penjajahan Italia di Libya dalam bukunya “Desert Encounter", yang dengan cepat menjadi buku terlaris di Denmark dan beberapa negara Eropa lainnya, serta di AS. Di Italia, buku itu dinyatakan terlarang hingga tahun 2004. Pemerintah Italia menghabiskan dana ribuan dollar untuk melakukan kampanye hitam terhadap buku Knud tersebut dan memanfaatkan media massa di Italia untuk membantah semua tulisan-tulisan Knud tentang kejahatan perang Italia di Libya.

Tahun 1931, Knud kembali melakukan perjalanan. Kali ini ia berencana ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Dalam perjalanannya, ia menyempatkan diri bertemu dengan para pemimpin dan tokoh perlawanan Libya yang diasingkan ke Turki, Yordania dan Suriah. Saat berada di Suriah, masyarakat Arab sedang melakukan demonstrasi besar-besaran di depan kantor konsulat Italia di Damaskus. Lagi-lagi Knud diusir dari Suriah. Knud boleh masuk ke Yordania dan melanjutkan perjalanannya ke Mekkah, setelah kantor konsulat Denmark di Istanbul menyampaikan proters keras atas perlakuan terhadap Knud.

Dibunuh Saat Menuju Mekkah
Pemerintah Italia masih menyimpan rasa khawatir terhadap Knud. Mereka takut Knud akan menyerukan jihad melawan Italia sesampainya di Mekkah. Untuk itu, Italia melakukan berbagai cara untuk mencegah Knud agar tak sampai ke Mekkah. Knud mengalami berbagai macam percobaan pembunuhan ketika masih berada di Amman, Yordania. Namun Knud tetap pada rencananya semula untuk pergi ke Mekkah. Ia membeli seekor unta dan melanjutkan perjalanannya ke Aqaba. Di sini, ia harus menunggu izin masuk ke wilayah Kerajaan Saudi.

Tanggal 11 Oktober 1931, Knud meninggalkan untanya di dekat perbatasan Saudi. Ia konon sedang bermalam di dekat oasis Haql ketika sekelompok suku Arab Badui mendatanginya. Suku di Saudi itu dikenal sebagai sekutu orang-orang Italia yang menguasai wilayah itu. Mereka menyuruh Knud untuk melanjutkan perjalanan sendirian dan di tengah jalan antara Al-Haql dan Humayda, Knud diserang dan disergap. Tapi malam itu juga, Knud berhasil meloloskan diri, ia berenang menjauhi bibir pantai. Saat kelelahan dan terdapar di sebuah pesisir pantai, suku Arab Badui menemukan Knud dan langsung menembaknya hingga tewas. Usia Knud saat itu baru 29 tahun. Jenazahnya dikubur di dekat pantai.

Petugas perbatasan Yordania Arif Saleem berusaha mengejar seorang syaikh, pemimpin kelompok yang dicurigai sebagai pelaku pembunuhan terhadap Knud. Saleem berhasil menangkapnya di wilayah Aqaba dan menginterogasinya selama beberapa jam. Tapi atas perintah komandan pasukan Inggris John Glubb, syaikh itu akhirnya dibebaskan. Beberapa bulan kemudian, tersiar kabar bahwa sejumlah anggota suku yang membunuh Knud, melakukan bunuh diri massal ketika tentara-tentara yang setia dengan Raja Ibnu Saud menghancurkan kamp-kamp mereka.

Tulisan, buku-buku dan foto-foto karya Knud menjadi warisan bersejarah yang sangat penting. Setelah Perang Dunia II usai, Italia diseret ke pengadilan internasional, tapi masyarakat Muslim di Libya tidak pernah menerima kompensasi atas kekejaman yang dilakukan pemerintah Italia selama menjajah Libya. Jenazah Knud juga tidak pernah dipulangkan ke Denmark.

sumber : eramuslim

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Sweet Tomatoes Printable Coupons