Selasa, 30 Juni 2009

King Of Pop Michael Jackson


Muallaf Michael Jackson

Kabar kemuslimannya muncul sejak beberapa tahun silam Apakah Jacho, penyanyi “King of Pop” ini, kini benar-benar telah masuk Islam? Bagaimana pun, kabar kemusliman Jacho sudah menjadi “promo” tersendiri bagi Islam.

PENYANYI pop ternama berjuluk “Raja Pop” (King of Pop), Michael Jackson, dikabarkan sudah masuk Islam dan mengubah namanya menjadi Mikail (Mikaeel). Jackson menolak menggunakan nama baru, Mustafa, yang artinya “orang terpilih” (the choosen one). Ia lebih memilih nama Mikaeel (Mikail), nama salah satu malaikat Allah. Nama itu juga lebih mirip dengan nama aslinya, Michael.

The Sun, Daily Telegraph, dan sejumlah situs berita lain memberitakan, sang penyanyi mengenakan pakaian tradisional Islam ketika mengikrarkan diri masuk Islam di rumah seorang temannya di Los Angeles, Amerika Serikat. The Sun dalam situsnya (thesun.co.uk) memberitakan, penyanyi top asal Inggris yang sudah lama masuk Islam, Yusuf Islam (Cat Stevens) turut menyambut gembira keislaman Jackson.

Jackson dikabarkan memutuskan untuk masuk Islam setelah berdiskusi soal agama dengan produser musik dan penulis lirik lagu yang sudah lebih dulu masuk Islam, Dawud Wharnsby Ali dan Idris Phillips, saat menggarap album barunya. Sebuah sumber menyebutkan: “Keduanya (sang produser dan penulis lagu) menceritakan soal keislaman mereka dan bagaimana mereka menjadi orang yang lebih baik setelah mereka masuk Islam. Belakangan Michael menyambut baik ide mereka dan tertarik untuk mengikuti jejak keduanya”.

Pintu hidayah bagi Jackson mulai terbuka ketika ia sering berdiskusi soal Islam. Ia melihat banyak mualaf yang kehidupannya menjadi baik setelah menganut Islam. Saudaranya, Jermaine Jackson yang sudah lebih dulu masuk Islam (1989), pernah menyarankan sang artis yang penuh kontroversi ini memilih Islam sebagai “pelindung”.
Prosesi keislaman Jacho demikian ia biasa disapa, dipimpin seorang imam. Sang “raja pop” duduk di lantai mengenakan topi kecil setelah sang imam memintanya berikrar syahadat.

Kabar masuk Islam Jacho sedikit “ternoda” dengan kabar lain soal perselisihannya dengan seorang pangeran Bahrain, Abdulla Al-Khalif. Jacho masuk Islam hanya beberapa hari sebelum mengikuti persidangan di Mahkamah London, Inggris, Senin (17/11).

Kasusnya bermula ketika Jacho menerima uang 4,5 juta poundsterling dari sang pangeran. Ia menganggap uang itu pemberian. Namun, sang pangeran berkata lain: itu uang kontrak rekaman eksklusif, namun rekaman tidak berjalan mulus. Di pengadilan, sang pangeran bersikukuh Jacho harus mengembalikan uang itu. “Berkali-kali ia konfirmasi pada saya bahwa ia akan mengembalikan uang itu,” kaa Abdulla Al-Khalif di depan hakim.

ISU keislaman Michael Jackson sudah lama beredar di kalangan media Amerika Serikat. Awal tahun 2004 , Jacho diisukan bergabung dengan kelompok Nation of Islam pimpinan Louis Farrakhan. Teman dekat Michael Jackson, Uri Geller, saat dikonfirmasi tentang hal itu oleh sebuah media milik Yahudi, Totally Jewish (TJ), mengatakan “mungkin, bisa saja terjadi”. Tapi buru-buru ia menambahkan: “Aku benar-benar tidak berpikir Michael akan terkena mantera suatu kelompok yang para pemimpinnya bersikap anti-Yahudi. Bahkan sekecil pun ia tak pernah memiliki kebencian pada seseorang,” ujarnya. “Ia pasti mempunyai banyak teman dan kenalan Yahudi, termasuk Rabbi Shmuli Boteach”.
Saudara kandung Jacho, Jermaine Jackson, yang mula-mula menghinformasikan adiknya telah memeluk Islam kepada salah satu untuk masuk Islam.

Tabloid AS, sempat ragu saudaranya itu mengikuti sarannya untuk masuk Islam. The Nation of Islam, lembaga yang diisukan menjadi tempat Jacho begabung, juga memberi pernyataan pendek di media yang diterbitkannya: “The Nation of Islam telah mengatakan bahwa itu tidak punya hubungan resmi atau hubungan profesional dengan Michael Jackson. The Nation of Islam merupakan tempat bergabungnya ribuan orang mengharapkan dia dengan makin baik,” ujarnya di The Final Call seperti dikutip situs Totally Jewish.com.

Isu tersebut beredar bersamaan dengan kasus yang menimpa Jacho: dituduh melakukan penganiayaan seks terhadap seorang bocah di sebuah pengadilan di California. Beberapa tahun sebelumnya, Jacho juga sempat menghadapi tuntutan serupa, namun tak pernah tebukti.

Sebelumnya, pada December 2003, tabloid Amerika, the New York Post, memberitakan Jacho sudah masuk Islam. "Raja Pop itu mengubah dirinya menjadi Jacko X," tulisnya, merujuk pada nama tokoh legendaris Nation of Islam, Malcolm X.

Apakah Jacho benar-benar telah masuk Islam? Kita harap demikian. Namun, bagaimanapun, kabar kemusliman Jacho sudah menjadi “promo” tersendiri bagi Islam.

‘King of Pop’Michael Jackson dinyatakan meninggal pada Kamis 25 Juni 2009 siang waktu Amerika (Jumat pagi waktu Indonesia Bagian Barat) di Rumah Sakit Los Angeles. jenazah Jackson ditutup kain kafan ketika pelan-pelan diturunkan dari helikopter menuju sebuah ambulan.


www.alhikmahonline.com

Rabu, 24 Juni 2009

Muhammad Ali

Muallaf Muhammad Ali Bersyahadat di atas Ring
Islam membawanya pada kedamaian dan kepercayaan diri yang tinggi.

Bagi penggemar tinju dunia, tentu tak asing dengan nama Muhammad Ali, mantan juara dunia kelas berat tiga kali. Di masanya, Ali terkenal sebagai seorang petinju yang sangat ditakuti oleh lawan-lawannya. Dan, ia pun dijuluki sebagai The Greatest (terbesar).

Sebab, dia mampu menaklukkan peitnju-petinju terbesar di zamannya, seperti George Foreman, Sony Liston, Joe Frazier, dan lainnya. Bahkan, pertarungannya melawan Foreman serta Joe Frazier menjadi pertarungan terbaik sepanjang abad ke-20. Dan, Ali pun juga dinobatkan sebagai seorang petinju terbesar di abad 20.

Nama sebagai 'Yang Terbesar' ini disematkan padanya sejak ia mengalahkan para petinju yang juga memiliki nama besar. Karena kemampuannya mengalahkan para petinju itu, ia pun menggunakan nama 'Yang Terbesar' (The Greatest) tersebut.

Ali juga dikenal sebagai petinju terbaik pada masanya. Ia pernah menjadi sebuah mesin pemukul yang sangat hebat hingga menimbulkan rasa takut pada lawannya. Sebelum berganti nama menjadi Muhammad Ali, ia bernama Cassius Marcellus Clay Junior. Hingga kini, namanya dianggap sebagai petinju terbaik yang pernah dimiliki publik Amerika Serikat dan orang kulit hitam.

Kesuksesannya merebut gelar juara dunia menempatkannya pada deretan atlet terbesar abad ke-20. Bahkan, gelar itu mengubah status pandangan masyarakat terhadap orang dan atlet kulit hitam. Keberhasilannya itu pun yang akhirnya mengangkat martabat para atlet kulit hitam ke tempat yang tinggi dengan penghormatan dan penerimaan yang baik dari masyarakat kulit putih dan hitam.

Ali dilahirkan pada 17 Januari 1942 di Louisville, Kentucky, Amerika Serikat. Daerah yang dikenal dengan ayam goreng khasnya ini juga terkenal dengan perbedaan etnis yang kental. Ayahnya, Cassius Marcellus Clay Sr, adalah pelukis papan nama dan reklame. Ibunya, Odessa Grady Clay, seorang pembantu rumah tangga.

Sejak kecil, Clay sudah merasakan perbedaan perlakuan karena warna kulitnya yang cokelat. Barangkali, hal inilah yang kemudian mendorongnya untuk belajar tinju agar bisa membalas perlakuan jahat teman-temannya yang berkulit putih. Ketika belum genap berusia 20 tahun, ia sudah memenangkan pertandingan kelas berat di Olimpiade Roma tahun 1960.

Pada usia 22 tahun, ia merasa dilahirkan kembali ke dunia. Sebab, saat itulah, ia berganti nama dari Cassius Marcellus Clay Junior menjadi Muhammad Ali. Nama ini merupakan pemberian seorang tokoh Muslim dari Nation of Islam (NOI), Elijah Muhammad, tahun 1964.

Ketika itu, Elijah membuat sebuah pernyataan umum dalam suatu siaran radio dari Chicago, ''Nama Clay ini tidak menyiratkan arti ketuhanan. Saya harap dia akan menerima dipanggil dengan nama yang lebih baik. Muhammad Ali, nama yang akan saya berikan kepadanya selama dia beriman kepada Allah dan mengikuti saya.''

Selama tiga tahun sebelum pertarungannya untuk memperebutkan gelar juara dunia kelas berat dengan Sonny Liston, Clay telah menghadiri pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh NOI. Kehadiran Ali diberitakan oleh koran Daily Nezus di Philadelphia pada September 1963. Pada Januari 1964, dia membuat sensasi besar dengan berbicara di sebuah rapat Muslim di New York.

Beberapa minggu kemudian, ayahnya mengatakan bahwa Clay telah bergabung dengan NOI. Kendati demikian, Clay belum memberikan pernyataan publik tentang keikutsertaannya dalam NOI. Tetapi, dia sibuk mempelajari Islam di bawah bimbingan Kapten Sam Saxon (sekarang Abdul Rahman) yang dijumpai Clay di Miami pada 1961.

Clay juga merenungkan ajaran-ajaran Elijah Muhammad dan membaca surat kabar yang diterbitkan NOI. Di samping itu, ia juga mencari bimbingan dan saran dari Malcolm X--tokoh NOI lainnya--yang dijumpainya di Detroit pada awal 1962.

Sebelum pertandingan Clay melawan Liston, Malcolm mengunjungi Clay sebagai pribadi, bukan sebagai wakil Elijah. Malcolm menganggap Clay sebagai adiknya dan menasihati dia. Nasihat Malcolm ini justru menjadi pemicu semangatnya untuk bertekad mengungguli Liston.

Walaupun merasa sangat takut menghadapi Liston, akhirnya Clay menang dalam pertandingan. Pertandingan tersebut berakhir sebelum bel ronde ketujuh berbunyi. Dengan kemenangan tersebut, dunia memiliki seorang juara baru di arena tinju.

Agama rasional
Kemenangan tersebut diyakininya merupakan 'waktu Allah'. Di antara tepuk riuh para pendukung dan kilatan-kilatan lampu kamera, Clay berdiri di depan jutaan penonton yang mengelilingi ring dan kamera TV. Ia mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengumumkan pergantian namanya menjadi Muhammad Ali Clay. ''Aku meyakini bahwa aku sedang berada di depan sebuah kebenaran yang tak mungkin berasal dari manusia,'' ujarnya.

Ali mengungkapkan, kepindahannya ke agama Islam adalah hal yang wajar dan selaras dengan fitrah yang Allah ciptakan untuk manusia. Ia meyakini bahwa Islam membawa kebahagiaan untuk semua orang. Menurutnya, Islam tidak membeda-bedakan warna kulit, etnis, dan ras. ''Semuanya sama di hadapan Allah SWT. Yang paling utama di sisi Tuhan mereka adalah yang paling bertakwa.''

Ia membandingkan ajaran Trinitas dengan ajaran Tauhid dalam Islam. Menurutnya, Islam lebih rasional. Karena, tidak mungkin tiga Tuhan mengatur satu alam dengan rapi seperti ini. Hal tersebut dinilainya sebagai suatu hal yang mustahil terjadi dan tidak akan memuaskan orang yang berakal dan mau berpikir.

Keyakinannya terhadap Islam makin bertambah manakala Ali membaca terjemahan Alquran. ''Aku bertambah yakin bahwa Islam adalah agama yang hak, yang tidak mungkin dibuat oleh manusia. Aku mencoba bergabung dengan komunitas Muslim dan aku mendapati mereka dengan perangai yang baik, toleransi, dan saling membimbing. Hal ini tidak aku dapatkan selama bergaul dengan orang-orang Nasrani yang hanya melihat warna kulitku dan bukan kepribadianku,'' paparnya.

Sejak saat itu, ia membelanjakan uangnya beberapa ratus ribu dolar untuk buku-buku dan pamflet-pamflet Islami supaya dapat memperkenalkan agama barunya. Dia percaya bahwa bukan hanya kaum Muslim, tetapi juga orang Kristen dan Yahudi yang takut pada Tuhan akan masuk surga.

Ketika para dokter di AS memvonisnya dengan penyakit Sindroma Parkinson, Ali mengatakan bahwa dia telah mendapatkan hidup yang baik sebelumnya dan sekarang. Dia tidak membutuhkan simpati dan belas kasihan. Dia hanya ingin menerima kehendak Allah SWT. Penyakitnya ini, menurut dia, merupakan cara Allah SWT merendahkannya untuk mengingatkannya pada kenyataan bahwa tak ada seorang pun yang lebih hebat dari Allah.

Perjuangan Ali yang utama sekarang adalah mencoba menyenangkan Allah dalam segala hal yang diperbuatnya. Menguasai dunia tidak membawanya kepada kebahagiaan yang sejati. Kebahagiaan sejati, katanya, hanya didapatkan dengan menyembah Allah. Kini, dia termasuk orang-orang yang giat berdakwah di Amerika dan aktif mengampanyekan solidaritas dan persamaan hak. dia/sya/berbagai sumber



Ali Penganut Sufi

Dengan sikap yang tegar, kuat, dan penuh percaya diri, ternyata Muhammad Ali merupakan seorang penganut tasawuf (sufi) yang sangat baik. Putri Muhammad Ali yang bernama Hanna Yasmeen Ali, buah perkawinannya dengan Veronica Porche Ali, dalam sebuah wawancara dengan Beliefnet, mengungkapkan kehidupan dan spiritualitas Muhammad Ali.

Hanna mengatakan, ayahnya adalah orang yang sangat taat dalam menjalankan perintah agama. Bahkan, ia tak segan-segan untuk bersikap keras dan tegas terhadap anggota keluarganya yang tidak mau menjalankan perintah Allah. Sikap ini dibuktikan Ali dengan menceraikan istrinya yang pertama, Sonji Roi, pada tahun 1966. Karena, menurut Ali, istrinya tersebut tidak menunjukkan sikap sebagai seorang Muslim.

Hanna menambahkan, ayahnya tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu. ''Sesibuk apa pun, ayah akan senantiasa mengerjakan shalat lima waktu,'' ujar Hanna.Bahkan, Ali juga senantiasa berupaya melaksanakan shalat fardhu secara berjamaah di masjid. ''Walaupun jaraknya membutuhkan waktu hingga 20 menit perjalanan, ayah akan selalu berupaya pergi ke masjid. Namun, ketika penyakit parkinson menghinggapi, ayah memang sekarang jarang ke masjid,'' jelas Hanna.

Hanna menambahkan, ayahnya juga seorang penganut sufi yang taat. Ali punya koleksi buku tasawuf karya Hazrat Inayat Khan, seorang guru sufi. ''Spiritualitas ayah saya sangat tinggi. Dari sikapnya yang sangat religius itu, ia praktikkan dalam kehidupan sehari-hari, menyayangi sesama, melakukan kegiatan sosial, dan mendorong banyak orang untuk senantiasa rajin mendekatkan diri kepada Tuhan,'' terangnya.

Ketika terjadi peristiwa 11 September 2001 akibat serangan teroris terhadap dua menara kembar World Trade Center (WTC) hingga memunculkan tuduhan terhadap Islam sebagai agama teroris, Ali pun tampil ke publik dan menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan oknum dan bukan Islam. Ia menyatakan, aksi tersebut merupakan perbuatan orang-orang yang keliru dalam memahami Islam secara benar. ''Islam adalah agama yang damai dan cinta akan kedamaian,'' terangnya.

republikaonline

Road To Mecca


Muallaf Mohammad Asad
Muhammad Asad (1900 - 1992) adalah seorang cendekiawan muslim, mantan Duta Besar Pakistan untuk Perserikatan Bangsa Bangsa, dan penulis beberapa buku tentang Islam termasuk salah satu tafsir Alquran modern yakni The Message of the Qur'an.

Muhammad Asad terlahir dengan nama Leopold Weiss pada bulan Juli tahun 1900 di kota Lemberg, waktu itu bagian dari Kekaisaran Austria-Hongaria (sekarang bernama Lviv dan terletak di Ukraina) dalam lingkungan keluarga Yahudi. Keluarganya secara turun-temurun adalah rabbi (pemuka agama Yahudi) kecuali ayahnya yang menjadi seorang pengacara.

Pendidikan agama yang ia dapat sejak masa kecil hingga mudanya menjadikan ia familiar dengan bahasa Aram, Kitab Perjanjian Lama serta teks-teks maupun tafsir dari Talmud, Mishna, Gemara dan Targum.

Pada usia 14 tahun ia lari dari rumah untuk bergabung dengan tentara Austria dalam Perang Dunia Pertama. Pada usia 19 tahun, ia meninggalkan studinya di bidang Filsafat dan Sejarah Seni, kemudian menjadi asisten perintis film, Dr. Murnau, dan genius di bidang teater, Max Reinhardt, di Berlin. Tahun 1922, ia menjadi reporter harian Frankfurter Zeitung (sebuah harian terkemuka di Jerman), dan kemudian menjadi korespondennya untuk negara Timur Dekat.

Tahun 1926, berkat kesan mendalam dari hasil pengembaraannya di negara-negara Islam Timur Tengah (hal ini terekam dalam salah satu bukunya Road to Mecca) ia memeluk Islam.

"Perhatian saya terhadap bangsa-bangsa yang saya kunjungi itu mula-mula adalah sebagai orang luar saja. Saya melihat susunan masyarakat dan pandangan hidup yang pada dasarnya berbeda dengan susunan masyarakat dan pandangan hidup orang-orang Eropa, dan sejak pandangan pertama, dalam hati saya telah tumbuh rasa simpati terhadap pandangan hidup yang tenang, yang boleh saya katakan lebih bersifat kemanusiaan jika dibanding dengan cara hidup Eropa yang serba terburu-buru dan mekanistik. Rasa simpati ini secara perlahan-lahan telah menyebabkan timbulnya keinginan saya untuk menyelidiki sebab adanya perbedaan itu, dan saya menjadi tertarik dengan ajaran-ajaran keagamaan orang Islam. Dengan persoalan ini, saya belum merasa tertarik cukup kuat untuk memeluk agama Islam, akan tetapi telah cukup membuka mata saya terhadap suatu pemandangan baru mengenai masyarakat kemanusiaan yang progresif dan teratur, dengan mengandung hanya sedikit pertentangan, tapi dengan rasa persaudaraan yang sangat besar dan sunguh-sungguh, walaupun kenyataan hidup orang-orang Islam sekarang masih jauh berbeda dengan kemungkinan-kemungkinan yang dapat diberikan oleh ajaran-ajaran Islam," tulisnya.

Ia lantas mengatakan mengenai Islam, "Dalam pandangan saya, Islam terlihat seperti sebuah hasil arsitektur yang sempurna. Semua elemen di dalamnya secara harmonis saling melengkapi dan mendukung; tidak ada yang berlebihan dan tidak ada yang kurang; hasilnya adalah sebuah struktur dengan keseimbangan sempurna dan komposisi yang kuat."

Setelah masuk Islam, ia pergi dan bekerja di seluruh dunia Islam, dari mulai Afrika Utara sampai Afganistan di bagian Timur, dan setelah beberapa tahun mempelajari Islam, beliau telah menjadi seorang cedekiawan Muslim terkemuka di abad ini.

"Demikianlah Islam telah masuk ke dalam lubuk hati saya, laksana seorang pencuri yang memasuki rumah di tengah malam. Hanya saja Islam telah masuk untuk terus menetap selama-lamanya, tidak seperti seorang pencuri yang masuk rumah untuk kemudian dengan tergesa-gesa keluar lagi. Sejak itu saya telah bersungguh-sungguh mempelajari apa yang dapat saya pelajari tentang Islam. Saya telah mempelajari Alquran dan Sunnah Rasul s.a.w. Saya pelajari bahasa agama Islam berikut sejarahnya, dan saya pelajari sebahagian besar buku-buku/tulisan-tulisan mengenai ajaran Islam dan juga buku-buku/tulisan-tulisan yang menentangnya. Semua itu saya lakukan dalam waktu lebih dari lima tahun di Hejaz dan Najed, dan lebih banyak lagi di Madinah, sehingga saya bisa mengalami sesuatu dalam lingkungan yang orisinal, di mana agama ini dikembangkan untuk pertama kalinya oleh Nabi yang berbangsa Arab. Sedangkan Hejaz merupakan titik pertemuan kaum Muslimin dari berbagai negara, dimana saya dapat membandingkan beberapa pandangan keagamaan dan kemasyarakatan yang berbeda-beda yang menguasai dunia Islam sekarang," paparnya dalam buku tersebut.

Semua pelajaran dan perbandingan itu telah menanamkan kepuasan dalam hatinya, bahwa Islam sebagai satu keajaiban rohani dan sosial masih tetap tegak, walaupun ada kemunduran-kemunduran yang ditimbulkan oleh kekurangan-kekurangan kaum Muslimin sendiri. Sebegitu jauh Islam masih tetap merupakan kekuatan terbesar yang pernah dikenal ummat manusia. Dan sejak waktu itu perhatiannya ditumpahkan untuk mengembalikan agama ini kepada kejayaannya semula.

Ia mengembara dan menyaksikan dengan kepala sendiri beberapa pergerakan pembebasan yang muncul pada awal abad 20 untuk membebaskan daerah Islam dari kaum kolonial. Ia berkunjung ke India di mana ia berjumpa dan bekerjasama dengan Muhammad Iqbal, filsuf dan penyair yang menginspirasikan lahirnya negara Pakistan. Dan setelah berdirinya negara Pakistan, beliau ditunjuk menjadi Director of the Department of Islamic Reconstruction di Punjab Barat, kemudian diangkat sebagai wakil Pakistan di PBB. Mendekati akhir hayatnya, ia kemudian pindah ke Spanyol dan hidup di sana bersama istri ke-empatnya Paola Hameeda Asad hingga wafatnya, pada tahun 1992.

Dua buku Mohammad Asad yang penting ialah Islam in the Cross Roads (Islam di Simpang Jalan) dan Road to Mecca (Jalan ke Mekah). Ia juga menulis The Message of the Qur'an, terjemahan yang dia lengkapi dengan tafsir singkat berdasarkan pengetahuannya dalam bahasa arab klasik dan tafsir-tafsir klasik. Tafsir tersebut diakui sebagai salah satu terjemahan terbaik Al Qur'an dalam bahasa Inggris walaupun dikritik oleh beberapa aliran tradisional seperti Mu'tazilah. Ia juga menulis terjemahan dan komentar terhadap kitab Sahih Bukhari, salah satu kitab koleksi hadits terkemuka.

Republikaonline

Perjalanan Islam Malcolm X


Muallaf Malcolm X

pejuang antidiskriminasi dan persamaan hak
Malcolm X adalah seorang tokoh Muslim kulit hitam Amerika (Afro-Amerika). Ketokohannya dapat disandingkan dengan Dr Martin Luther King yang berjuang menghapus segala macam diskriminasi, lebih-lebih yang menimpa kaum Afro-Amerika.

''Saya tahu, masyarakat seringkali membunuh orang-orang yang berusaha mengubah mereka menjadi lebih baik. Jika saya mati dengan membawa cahaya kebenaran hakiki bagi mereka, hal itu akan menghancurkan kanker rasisme yang menggerogoti tubuh Amerika Serikat (AS). Semua itu terserah kepada Allah SWT. Sementara itu, kesalahan atau kekhilafan dalam upaya saya itu semata-mata adalah dari saya sendiri.'' Demikianlah pesan terakhirnya dalam buku "Malcolm X", sebuah autobiografi yang ditulis oleh Alex Harley.

Malcolm X lahir pada tanggal 19 Mei 1925 di Omaha, Nebraska, AS, dengan nama asli Malcolm Little. Ibunya bernama Louise Little dan ayahnya Earl Little adalah seorang pendeta Baptis dan anggota UNIA (Universal Negro Improvement Association), yakni sebuah organisasi yang dirintis oleh Marcos Aurelius Garvey untuk mewadahi perbaikan hidup bagi orang Afro-Amerika.

Semasa kecilnya, Malcolm dan keluarganya sering menjadi sasaran penembakan, pembakaran rumah, pelecehan, dan ancaman lantaran ayahnya adalah anggota UNIA yang militan. Tindakan kekerasan yang diterima keluarga Malcolm mencapai puncaknya, saat ayahnya dibunuh kelompok rasis kulit putih ketika Malcolm berusia enam tahun.

Kehilangan seorang ayah yang menjadi pelindung, pengayom, sekaligus guru, telah mengubah kehidupan Malcolm menjadi anak yang liar. Sekolahnya putus ketika ia berusia sekitar 15 tahun. Ia pun sering tinggal di jalanan. Kehidupan jalanan dan kegemarannya pada kehidupan dunia hitam, telah membuatnya terjerumus dalam berbagai kehidupan antargeng, narkotika, minuman keras, perjudian, dan pelacuran. Kehidupan seperti ini ia jalani hingga keluarganya pindah ke Harlem (wilayah terkenal bagi orang kulit hitam Amerika) di New York.

Pada usia 20 tahun, Malcolm diajukan ke pengadilan atas kasus pencurian dan ditahan hingga berusia 27 tahun. Seperti layaknya seorang narapidana, banyak keonaran yang dilakukannya semasa di penjara. Berulang-ulang ia harus keluar masuk penjara akibat perbuatan yang dilakukannya.

Namun, dari balik tembok penjara ini, dia justru menemukan apa yang dinamakan pencerahan diri, mulai dari membaca dan menulis di dalam penjara Chalestown State.
Kemudian, terjadilah kontak dengan saudaranya, Philbert, melalui surat-menyurat. Ia juga sering berdiskusi dengan saudara kandungnya, Hilda, yang sering mengunjunginya selama di penjara. Diskusi yang dilakukan berkaitan dengan ajaran agama Islam di tempat kedua saudaranya terlibat, yakni Nation of Islam (NoI).

Memilih Islam
Berawal dari sinilah Malcolm mengenal NoI. Kemudian, ia memutuskan masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Malcolm X. Inisial X menunjukkan bahwa ia adalah eks perokok, eks pemabuk, eks Kristen, dan eks budak. Selama dalam penjara, Malcolm mengadakan kontak melalui surat-menyurat dengan Elijah Muhammad, pimpinan sekaligus tokoh bagi pengikut NoI. Berkat Elijah pula, Malcolm memahami arti ketertindasan dan ketidakadilan yang menimpa ras kulit hitam sepanjang sejarah. Sejak itulah, Malcolm X menjadi seorang napi yang kutu buku mulai dari menekuni sastra, agama, bahasa, dan filsafat.

Pada hari pembebasannya di tahun 1952, Malcolm langsung pergi ke Chicago untuk bergabung dengan kegiatan NoI. Malcolm belajar Islam dan ajaran NoI langsung dari sang pendiri. Setahun kemudian, Malcolm kembali ke Boston untuk mengorganisasi pendirian sebuah masjid. Atas keberhasilannya itu, ia diangkat menjadi imam Masjid Tujuh (Temple Seven) di Harlem.

Dengan bergabungnya Malcolm, NoI berkembang menjadi organisasi yang berskala nasional. Malcolm sendiri menjadi figur yang terkenal di dunia, mulai dari wawancara di televisi, majalah, dan pembicara di berbagai universitas terkemuka dan forum lainnya. Kepopulerannya muncul atas kata-katanya yang tegas dan kritis, seputar kesulitan yang dialami kaum negro, yaitu tentang diskriminasi dan sikap kekerasan yang ditunjukkan kaum kulit putih terhadap kaumnya (kulit hitam).

Namun sayangnya, NoI juga memberikan pandangan-pandangan yang bersikap rasis. Sehingga, ia menolak bantuan apa pun dari kalangan kulit putih yang benar-benar mendukung perjuangan antidiskriminasi. Bahkan, selama 12 tahun, Malcolm mendakwahkan bahwa orang kulit putih adalah iblis dan Elijah Muhammad adalah yang terhormat dan utusan Allah.

Pandangan tersebut tentu saja bertentangan dengan ajaran Islam sendiri, yang tidak membedakan kehormatan dan kehinaan seseorang berdasarkan ras, serta tidak ada nabi sesudah Nabi Muhammad SAW. Pandangan rasis dari NoI, membuat Malcolm kemudian menyadari bahwa hal tersebut sebagai sebuah ajaran yang tidak rahmatan lil alamin. Karena hal itu, ia pun memutuskan keluar dari NoI.

Bahkan, Malcolm mengatakan, dirinya sering menerima teguran bahwa tuduhan yang dilontarkan kepada kaum kulit putih, tidak memiliki dasar dalam perspektif Islam. Di antaranya, yang memberikan teguran adalah justru dari kalangan Muslim Timur Tengah atau Muslim Afrika Utara. Meski demikian, mereka menganggap Malcolm benar-benar memeluk Islam dan mengatakan jika dia berkesempatan mengenal Islam sejati, pasti akan memahami ajarannya dan memegang teguh ajarannya.


Kembali ke Ajaran Islam yang Murni

Pada tahun 1964, setelah menunaikan ibadah haji, Malcolm X mendapatkan gambaran yang berbeda atas pandangannya selama ini. Apalagi, setelah berjumpa dengan kaum Muslimin dari seluruh dunia, dari berbagai ras, bangsa, dan warna kulit yang semua memuji Tuhan yang satu dan tidak saling membedakan. Malcolm berkata, ''Pengalaman haji yang saya alami dan lihat sendiri, benar-benar memaksa saya mengubah banyak pola pikir saya sebelumnya dan membuang sebagian pemikiran saya. Hal itu tidaklah sulit bagi saya.''

Kata-kata ini sebagai bukti bahwa dirinya mengubah pandangan hidup, dari memperjuangkan hak sipil orang negro ke gagasan internasionalisme dan humanisme Islam. Malcolm X pun mulai meninggalkan ideologi separatisme kulit hitamnya dan beralih ke ajaran Islam yang sesungguhnya. Ia juga mengganti namanya menjadi el-Hajj Malik el-Shabazz. Kendati berganti nama, Malcolm X jauh lebih populer ketimbang nama barunya. Malcolm menegaskan bahwa kaum Muslim kulit hitam berasal dari leluhur kaum Muslim yang sama. Perjalanan haji, ungkap dia, telah membuka cakrawala berpikirnya dengan menganugerahkan cara pandang baru selama dua pekan di Tanah Suci.

Kebenaran Islam telah menunjukkan kepada dirinya bahwa kebencian membabi buta kepada semua orang kulit putih adalah sikap yang salah, seperti halnya jika sikap yang sama dilakukan orang kulit putih terhadap orang negro. Pada perjalanan keduanya ke Timur Tengah di tahun 1964, Malcolm X menyempatkan diri berkunjung ke Afrika, negeri leluhurnya. Selama delapan pekan, dia beraudiensi dengan Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, Presiden Nigeria Nnamoi Azikiwe, Presiden Tanzania Julius K Nyarere, Presiden Guinea Sekou Toure, Presiden Kenya Jomo Kenyatta, dan Perdana Menteri Uganda Milton Obote. Ia juga bertemu dengan para pemimpin agama berkebangsaan Afrika, Arab, dan Asia, baik Muslim dan non-Muslim.

''Saya melihat hal yang tidak pernah saya lihat selama 39 tahun hidup di Amerika Serikat. Saya melihat semua ras dan warna kulit bersaudara dan beribadah kepada satu Tuhan tanpa menyekutukannya. Benar pada masa lalu saya bersikap benci pada semua orang kulit putih. Namun, saya tidak merasa bersalah dengan sikap itu lagi, karena sekarang saya tahu bahwa ada orang kulit putih yang ikhlas dan mau bersaudara dengan orang negro,'' ujarnya.

Malcolm X akhirnya mendirikan Organization of Afro-American Unity pada 28 Juni 1964 di New York. Melalui organisasi ini, ia menerbitkan Muhammad Speaks (Muhammad Bericara) yang kini diganti menjadi Bilalian News (Kabar Kaum Bilali [Muslim Kulit Hitam]).

Namun, ia tak sempat lama menikmati usahanya dalam memperjuangkan Islam yang lebih baik lagi. Pada 21 Februari 1965, saat akan memberi ceramah di sebuah hotel di New York, Malcolm X tewas ditembak oleh tiga orang Afro-Amerika. Sebuah kelompok yang dia perjuangkan tentang nilai-nilai dan hak-hak warga kulit hitam. Tak ada yang tahu, apa motif di balik penembakan itu.

Kendati demikian, impian Malcolm X menyebarkan visi antirasisme dan nilai-nilai Islam yang humanis, menggugah kalangan Afro-Amerika dan dunia. Banyak yang menaruh simpati padanya. Bahkan, berkat perjuangannya pula, banyak orang yang memeluk agama Islam. Salah satunya adalah Classius Clay Junior, seorang petinju kelas berat yang akhirnya berganti nama menjadi Muhammad Ali. dia/berbagai sumber


Biodata:

Nama Populer : Malcolm X
Nama Lahir : Malcolm Little
Nama Muslim : el-Hajj Malik el-Shabazz
Tempat/Tanggal Lahir: Omaha, Nebraska, AS, 19 Mei 1925
Wafat : 21 Februari 1965 di New York
Istri : Betty X
Anak : 4 orang (Attilah, Qubilah, Illyasah, dan Amiliah)

Republika online

Selasa, 23 Juni 2009

Sang Anak "Ajaib"



Muallaf Agnes
“Papah, Mamah, Rio Tunggu di Pintu Surga!”
Agnes adalah sosok wanita Katolik taat. Setiap malam, ia beserta keluarganya rutin berdoa bersama. Bahkan, saking taatnya, saat Agnes dilamar Martono, kekasihnya yang beragama Islam, dengan tegas ia mengatakan “Saya lebih mencintai Yesus Kristus dari pada manusia!”

Ketegasan prinsip Katolik yang dipegang wanita itu menggoyahkan Iman Martono yang muslim, namun jarang melakukan ibadah sebagaimana layaknya orang beragama Islam. Martono pun masuk Katolik, sekedar untuk bisa menikahi Agnes. Tepat tanggal 17 Oktober 1982, mereka melaksanakan pernikahan di Gereja Ignatius, Magelang, Jawa Tengah.

Usai menikah, lalu menyelesaikan kuliahnya di Jogjakarta, Agnes beserta sang suami berangkat ke Bandung, kemudian menetap di salah satu kompleks perumahan di wilayah Timur kota kembang. Kebahagiaan terasa lengkap menghiasi kehidupan keluarga ini dengan kehadiran tiga makhluk kecil buah hati mereka, yakni: Adi, Icha dan Rio.

Di lingkungan barunya, Agnes terlibat aktif sebagai jemaat Gereja Suryalaya, Buah Batu, Bandung. Demikan pula Martono, sang suami. Selain juga aktif di Gereja, Martono saat itu menduduki jabatan penting, sebagai kepala Divisi Properti PT Telkom Cisanggarung, Bandung.

Karena Ketaatan mereka memegang iman Katolik, pasangan ini bersama beberapa sahabat se-iman, sengaja mengumpulkan dana dari tetangga sekitar yang beragama Katolik. Mereka pun berhasil membeli sebuah rumah yang 'disulap' menjadi tempat ibadah (Gereja,red).

Uniknya, meski sudah menjadi pemeluk ajaran Katolik, Martono tak melupakan kedua orangtuanya yang beragama Islam. Sebagai manifestasi bakti dan cinta pasangan ini, mereka memberangkatkan ayahanda dan ibundanya Martono ke Mekkah, untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.

Hidup harmonis dan berkecukupan mewarnai sekian waktu hari-hari keluarga ini. Sampai satu ketika, kegelisahan menggoncang keduanya. Syahdan, saat itu, Rio, si bungsu yang sangat mereka sayangi jatuh sakit. Panas suhu badan yang tak kunjung reda, membuat mereka segera melarikan Rio ke salah satu rumah sakit Kristen terkenal di wilayah utara Bandung.

Di rumah sakit, usai dilakukan diagnosa, dokter yang menangani saat itu mengatakan bahwa Rio mengalami kelelahan. Akan tetapi Agnes masih saja gelisah dan takut dengan kondisi anak kesayangannya yang tak kunjung membaik.

Saat dipindahkan ke ruangan ICU, Rio, yang masih terkulai lemah, meminta Martono, sang ayah, untuk memanggil ibundanya yang tengah berada di luar ruangan. Martono pun keluar ruangan untuk memberitahu Agnes ihwal permintaan putra bungsunya itu.
Namun, Agnes tak mau masuk ke dalam. Ia hanya mengatakan pada Martono, ”Saya sudah tahu.” Itu saja.

Martono heran. Ia pun kembali masuk ke ruangan dengan rasa penasaran yang masih menggelayut dalam benak. Di dalam, Rio berucap, “Tapi udahlah, Papah aja, tidak apa-apa. Pah hidup ini hanya 1 centi. Di sana nggak ada batasnya.”

Sontak, rasa takjub menyergap Martono. Ucapan bocah mungil buah hatinya yang tengah terbaring lemah itu sungguh mengejutkan. Nasehat kebaikan keluar dari mulutnya seperti orang dewasa yang mengerti agama.
Hingga sore menjelang, Rio kembali berujar, “Pah, Rio mau pulang!”
“Ya, kalau sudah sembuh nanti, kamu boleh pulang sama Papa dan Mama,” jawab Martono. “Ngga, saya mau pulang sekarang. Papah, Mamah, Rio tunggu di pintu surga!” begitu, ucap Rio, setengah memaksa.

Belum hilang keterkejutan Martono, tiba-tiba ia mendengar bisikan yang meminta dia untuk membimbing membacakan syahadat kepada anaknya. Ia kaget dan bingung. Tapi perlahan Rio dituntun sang ayah, Martono, membaca syahadat, hingga kedua mata anak bungsunya itu berlinang. Martono hafal syahadat, karena sebelumnya adalah seorang Muslim.

Tak lama setelah itu bisikan kedua terdengar, bahwa setelah Adzan maghrib Rio akan dipanggil sang Pencipta. Meski tambah terkejut, mendengar bisikan itu, Martono pasrah. Benar saja, 27 Juli 1999, persis saat sayup-sayup Adzan maghrib, berkumandang Rio menghembuskan nafas terakhirnya.

Tiba jenazah Rio di rumah duka, peristiwa aneh lagi-lagi terjadi. Agnes yang masih sedih waktu itu seakan melihat Rio menghampirinya dan berkata, “Mah saya tidak mau pakai baju jas mau minta dibalut kain putih aja.” Saran dari seorang pelayat Muslim, bahwa itu adalah pertanda Rio ingin dishalatkan sebagaimana seorang Muslim yang baru meninggal.

Setelah melalui diskusi dan perdebatan diantara keluarga, jenazah Rio kemudian dibalut pakaian, celana dan sepatu yang serba putih kemudian dishalatkan. Namun, karena banyak pendapat dari keluarga yang tetap harus dimakamkan secara Katolik, jenazah Rio pun akhirnya dimakamkan di Kerkov. Sebuah tempat pemakaman khusus Katolik, di Cimahi, Bandung.

Sepeninggal Rio
Sepeninggal anaknya, Agnes sering berdiam diri. Satu hari, ia mendengar bisikan ghaib tentang rumah dan mobil. Bisikan itu berucap, “Rumah adalah rumah Tuhan dan mobil adalah kendaraan menuju Tuhan.” Pada saat itu juga Agnes langsung teringat ucapan mendiang Rio semasa TK dulu, ”Mah, Mbok Atik nanti mau saya belikan rumah dan mobil!” Mbok Atik adalah seorang muslimah yang bertugas merawat Rio di rumah. Saat itu Agnes menimpali celoteh si bungsu sambil tersenyum, “Kok Mamah ga dikasih?” “Mamah kan nanti punya sendiri” jawab Rio, singkat.

Entah mengapa, setelah mendengar bisikan itu, Agnes meminta suaminya untuk mengecek ongkos haji waktu itu. Setelah dicek, dana yang dibutuhkan Rp. 17.850.000. Dan yang lebih mengherankan, ketika uang duka dibuka, ternyata jumlah totalnya persis senilai Rp 17.850.000, tidak lebih atau kurang sesenpun. Hal ini diartikan Agnes sebagai amanat dari Rio untuk menghajikan Mbok Atik, wanita yang sehari-hari merawat Rio di rumah.

Singkat cerita, di tanah suci, Mekkah, Mbok Atik menghubungi Agnes via telepon. Sambil menangis ia menceritakan bahwa di Mekkah ia bertemu Rio. Si bungsu yang baru saja meninggalkan alam dunia itu berpesan, “Kepergian Rio tak usah terlalu dipikirkan. Rio sangat bahagia disini. Kalo Mama kangen, berdoa saja.”

Namun, pesan itu tak lantas membuat sang Ibunda tenang. Bahkan Agnes mengalami depresi cukup berat, hingga harus mendapatkan bimbingan dari seorang Psikolog selama 6 bulan.

Satu malam saat tertidur, Agnes dibangunkan oleh suara pria yang berkata, “Buka Alquran surat Yunus!”. Namun, setelah mencari tahu tentang surat Yunus, tak ada seorang pun temannya yang beragama Islam mengerti kandungan makna di dalamnya. Bahkan setelah mendapatkan Alquran dari sepupunya, dan membacanya berulang-ulang pun, Agnes tetap tak mendapat jawaban.

“Mau Tuhan apa sih?!” protesnya setengah berteriak, sembari menangis tersungkur ke lantai. Dinginnya lantai membuat hatinya berangsur tenang, dan spontan berucap “Astaghfirullah.” Tak lama kemudian, akhirnya Agnes menemukan jawabannya sendiri di surat Yunus ayat 49: “Katakan tiap-tiap umat mempunyai ajal. Jika datang ajal, maka mereka tidak dapat mengundurkannya dan tidak (pula) mendahulukannya”.

Beberapa kejadian aneh yang dialami sepeninggal Rio, membuat Agnes berusaha mempelajari Islam lewat beberapa buku. Hingga akhirnya wanita penganut Katolik taat ini berkata, “Ya Allah terimalah saya sebagai orang Islam, saya tidak mau di-Islamkan oleh orang lain!”.

Setelah memeluk Islam, Agnes secara sembunyi-sembunyi melakukan shalat. Sementara itu, Martono, suaminya, masih rajin pergi ke gereja. Setiap kali diajak ke gereja Agnes selalu menolak dengan berbagai alasan.

Sampai suatu malam, Martono terbangun karena mendengar isak tangis seorang perempuan. Ketika berusaha mencari sumber suara, betapa kagetnya Martono saat melihat istri tercintanya, Agnes, tengah bersujud dengan menggunakan jaket, celana panjang dan syal yang menutupi aurat tubuhnya.
“Lho kok Mamah shalat,” tanya Martono. “Maafkan saya, Pah. Saya duluan, Papah saya tinggalkan,” jawab Agnes lirih. Ia pasrah akan segala resiko yang harus ditanggung, bahkan perceraian sekalipun.

Martono pun Akhirnya Kembali ke Islam
Sejak keputusan sang istri memeluk Islam, Martono seperti berada di persimpangan. Satu hari, 17 Agustus 2000, Agnes mengantar Adi, putra pertamanya untuk mengikuti lomba Adzan yang diadakan panitia Agustus-an di lingkungan tempat mereka tinggal. Adi sendiri tiba-tiba tertarik untuk mengikuti lomba Adzan beberapa hari sebelumnya, meski ia masih Katolik dan berstatus sebagai pelajar di SMA Santa Maria, Bandung. Martono sebetulnya juga diajak ke arena perlombaan, namun menolak dengan alasan harus mengikuti upacara di kantor.

Di tempat lomba yang diikuti 33 peserta itu, Gangsa Raharjo, Psikolog Agnes, berpesan kepada Adi, “Niatkan suara adzan bukan hanya untuk orang yang ada di sekitarmu, tetapi niatkan untuk semesta alam!” ujarnya. Hasilnya, suara Adzan Adi yang lepas nan merdu, mengalun syahdu, mengundang keheningan dan kekhusyukan siapapun yang mendengar. Hingga bulir-bulir air mata pun mengalir tak terbendung, basahi pipi sang Ibunda tercinta yang larut dalam haru dan bahagia. Tak pelak, panitia pun menobatkan Adi sebagai juara pertama, menyisihkan 33 peserta lainnya.

Usai lomba Agnes dan Adi bersegera pulang. Tiba di rumah, kejutan lain tengah menanti mereka. Saat baru saja membuka pintu kamar, Agnes terkejut melihat Martono, sang suami, tengah melaksanakan shalat. Ia pun spontan terkulai lemah di hadapan suaminya itu. Selesai shalat, Martono langsung meraih sang istri dan mendekapnya erat. Sambil berderai air mata, ia berucap lirih, “Mah, sekarang Papah sudah masuk Islam.” Mengetahui hal itu, Adi dan Icha, putra-putri mereka pun mengikuti jejak ayah dan ibunya, memeluk Islam.

Perjalanan panjang yang sungguh mengharu biru. Keluarga ini pun akhirnya memulai babak baru sebagai penganut Muslim yang taat. Hingga kini, esok, dan sampai akhir zaman. Insya Allah. (M.Yasin/Alhikmah)


Di Balik Kesuksesan Gonzales


Muallaf Christian Gonzales
Christian Gonzales, pemain cemerlang bertabur bintang dengan gelar peraih top skor 4 tahun berturut-turut merupakan sosok yang tak asing lagi di dunia persepakbolaan tanah air Indonesia. Namun siapa menyangka, dibalik kesuksesan Gonzales terdapat suatu kekuatan yang menyemangati hidupnya, terlebih setelah ia menjadi Muallaf, kekuatan itu tidak lain adalah kekuatan doa.

Gonzales atau yang memiliki nama lengkap Christian Gerard Alfaro Gonzales dilahirkan di Monteveido, Uruguay pada tanggal 30 Agustus 1976 dari seorang ayah angkatan militer bernama Eduardo Alfaro dan ibu seorang suster di rumah sakit Montevideo bernama Meriam Gonzales.

Kedua pasangan ini, khususnya sang ibu adalah penganut agama Katolik yang taat. Gambar Bunda Maria selalu menempel di setiap sudut ruangan rumah dan tempat kerjanya. Bahkan saking fanatiknya, gambar Bunda Maria kerap dibawa kemana-mana oleh ibunya.

Ketaatan dari sang ibu nampaknya berpengaruh pada diri Gonzales, anak ketiga dari enam saudara ini kerap pergi ke Gereja dua sampai tiga kali dalam seminggu, oleh karena itu tidak heran jika Gonzales dikenal sebagai anak yang taat dalam beragama.

Perkenalannya dengan dunia sepak bola, dimulai ketika Gonzales berusia 6 tahun. Semula ayahnya berharap Gonzales dapat meneruskan jejaknya menjadi seorang militer, namun karena kegilaannya terhadap dunia sepak bola, harapan itu tak terpenuhi.

Menginjak usia ke 18 tahun, pria yang menyukai warna hitam ini bertemu dengan seorang wanita beragama Islam asal Indonesia, Eva Nurida Siregar di Cile, Amerika latin pada tahun 1994. Saat itu Eva menekuni salsa di sekolah Vinadelmar. Lama berkenalan akhirnya Gonzales menyimpan hati pada Eva. Dan tak lama kemudian Cintanya berbalas.

Sebagai penganut Katolik, lelaki yang dikenal pendiam ini sama sekali tidak mengenal agama Islam yang dianut pujaan hatinya, begitu pun dengan sang ibu. “Sebelum ketemu istri, saya sama sekali tidak tahu Islam” ungkap pria penggemar Rivaldo. Maka peran Eva pun menjadi berat, ia berulang kali menjelaskan tentang ajaran Islam yang dianutnya.

Usaha wanita kelahiran Pekanbaru ini akhirnya berhasil. Eva Nurida Siregar yang beragama Islam dan Christian Gerard Alfaro Gonzales yang beragama Katolik menikah dan hidup bersama di Uruguay pada tahun 1995.

Karir pria yang memiliki tinggi badan 177 Cm ini di dalam persepak bolaan terus berkembang, mulai dari Klub Penarol Uruguay (1988-1991), South Amerika (1994-1995), Huracan de Carientes Argentina (1997) dan Deportivo Maldonado (2000-2002) pernah dijajaikinya.
Perkembangan karir ini sebetulnya tidak lepas dari peran Eva. Setiap kali pemain sepak bola yang dijuluku elloco (si gila) ini mau berangkat bertanding, wanita yang biasa dipanggil Amor oleh Gonzales ini selalu memanjatkan doa kepada Allah SWT. Dalam berdoa terkadang Eva sengaja mengeraskan suara dengan harapan Gonzales dapat mendengarnya.

Kebiasaan inilah yang membuat Gonzales mulai tertarik dengan ajaran Islam. Ia sendiri tidak akan beranjak pergi sebelum kekasihnya selesai berdoa. Karena dari doa inilah Gonzales menemukan kedamaian dan ketenangan yang selama ini tidak didapatkan dari agama yang dianut sebelumnya. Doa ini pula yang membuat dirinya semakin bersemangat dan optimis setiap kali bertanding di lapangan hijau.

Tidak hanya itu, Gonzales terkadang memperhatikan kebiasaan Eva yang selalu mengucapkan bismilah ketika mau melakukan sesuatu atau mengucapkan istighfar ketika dihadapkan pada konflik, serta ucapan lainnya yang menjadi doa umat Islam.

Pada tahun 2002 pria yang menyukai aktor Tom Cruise ini menerima sebuah tawaran dari agen sepak bola untuk bermain di Indonesia. Ia pun tertarik dan akhirnya menerima tawaran tersebut dengan merumput di Indonesia bersama PSM Makassar pada tahun 2003.

Indonesia merupakan negara yang berpenduduk mayoritas beragama Islam, selama ini Gonzales hanya mengenal Islam melalui istrinya dan ini dirasa tidak cukup. Sekarang pemain yang doyan sup ayam ini bisa langsung menemukan Islam dari para penganutnya.

“Saya tidak pernah memaksa Gonzales masuk Islam”. Ungkap Eva “Kadang-kadang setelah saya baca buku tentang ajaran Islam, saya simpan buku itu di meja dan Christian diam-diam membacanya, maka dia kemudian tau bagaimana sikap suami terhadap istrinya dalam Islam dan bagaimana sikap istri terhadap suaminya” Lanjutnya mengenang saat pertama kali tinggal di Indonesia bersama Gonzales.

Maka tepat pada tanggal 9 Oktober 2003 Christian Gonzales memutuskan untuk masuk Islam atas dasar kemauan sendiri dengan disaksikan oleh ustadz Mustafa di Mesjid Agung al Akbar Surabaya. Christian Gerard Alfaro Gonzales kemudian diberi nama Mustafa Habibi. Nama Mustafa diambil dari guru spiritualnya, ustadz Mustafa sedangkan Habibi (cintaku) diambil karena rasa cinta sang istri amat besar kepada Christian Gonzales.

Islam memiliki kesan tersendiri bagi Gonzales “Karena di dalam Islam setiap ada sesuatu ada ucapan doanya seperti ketika masuk rumah mengucapkan assalamualaikum, ketika mau melakukan sesuatu diawali dengan basmalah, dan setiap melangkah dalam Islam selalu aja ada bacaan. Dan ini menjadi hati saya merasa tenang” Ungkap Eva mengutip ucapan Gonzales.

keislaman pria penggemar Manchester United ini kemudian dilegalkan di Kediri dengan Piagam muallaf dari Urusan agama setempat sekaligus melegalkan pernikahan antara Christian Gonzales dengan Eva Siregar.

Sang ibu, Meriam Gonzales saat dikabarkan keislaman anaknya, menerima dengan ikhlas agama yang dipilih anak tercintanya, ia hanya berharap anaknya meraih kesuksesan di masa depan. Namun untuk menjalin hubungan keluarga, Gonzales dan Eva setiap hari tidak ketinggalan menghubungi ibunya, hanya sekedar menanyakan kabar dari negara nun jauh di sana.

Seakan menemukan air di gurun sahara, begitulah kondisi pemain yang mencetak 33 gol untuk PSM Makassar saat itu. Dengan bimbingan Ustadz Mustafa, Gonzales mulai mengenal Islam lebih dalam. Selain itu Hj Fatimah, ulama terkenal asal Mojosari dan Hj. Nurhasanah turut menjadi guru spiritual Gonzales. Bahkan Majlis Ulama Gresik sendiri sampai mengangkat Gonzales beserta keluarganya sebagai anak angkat mereka.

Hj. Nurhasanah biasa dipanggil Bunda, selalu menyemangati Gonzales dengan nasehat untuk selalu berdoa. “Kamu harus kuat-kuat doa” kenang Eva menirukan ucapan Hj. Nurhasanah. Begitu pun Hj Fatimah, ustadzah yang membangun mesjid dengan nama Gonzali ini baik via telephone atau tatap muka selalu menyemangati Gonzales dengan doa sambil menangis.

Selama di Kediri, ayah empat anak ini bermain membela Persik Kediri dan tinggal di perumahan Taman Persada. Rumah ini menjadi awal kehidupan baru bagi Mustafa Habibi. Islam telah banyak merubah dirinya. Setiap tengah malam ia terbiasa membangunkan istrinya untuk shalat tahajud atau sekedar berdoa.

Setiap kali pertandingan akan digelar keesokan harinya, Eva sang istri selalu mengadakan pengajian yang dihadiri oleh ibu-ibu sekitar rumahnya dan diakhiri dengan pembacaan doa. Sementara pengajian berlangsung, Gonzales selalu memperhatikan pengajian dan duduk disamping Eva atau terkadang ia duduk di belakang ibu-ibu pengajian. Maka tidak heran jika Eva lupa tidak mempersiapkan pengajian orang yang pertama kali menegurnya adalah suaminya sendiri.
Namun Gonzales bukanlah manusia yang sempurna, sama seperti pemain lainnya dalam pertandingan sepak bola, konflik kadang tidak bisa dihindari. Tercatat pada tahun 2004, Gonzales pernah memiliki masalah dengan Abu Shaleh Pengurus Pengda PSSI Banten saat PSM Makassar menjamu Persikota Tanggerang. Tahun 2006, Gonzales bermasalah dengan Emanuel de Porras striker PSIS. Setahun kemudian Gonzales berurusan dengan wasit Rahmat Hidayat saat melawan Pelita Jaya Jawabarat dan pada tahun 2008 Gonzales berurusan dengan Erwinsyah Hasibuan bek dari PSMS.

Tentunya permaslahan ini berujung pada sanski yang dikeluarkan tim disiplin PSSI, mulai dari denda sampai larangan bermain. Sanksi ini bagi Gonzales merupakan ujian berat, dan pada saat yang sama guru-guru spiritual Gonzales selalu membingbing dan menyemangati Gonzales untuk tetap bangkit dan bersabar menerima cobaan. Terbukti, nasehat ini berhasil membawa Gonzales terus bangkit dan kembali berlaga untuk menciptakan gol di lapangan hijau.

Popularitas dan harta yang melimpah ruah tidak begitu mempengaruhi Gonzales, ia bukanlah tipe orang yang suka menghambur hamburkan uang. Bahkan ia akan sangat marah jika ada orang yang mengajaknya ke klub atau tempat hiburan malam dan tak segan Gonzales akan memutuskan hubungan dengan orang tersebut.

Harta yang ia raih dari perjuangannya di persepakbolaan lebih suka ia berikan kepada anak yatim, fakir miskin dan ibu-ibu pengajian sebagai zakat dan shadaqah. Hal ini dilakukan karena Gonzales mengetahui kewajiban zakat yang ia baca dari buku-buku keislaman milik istrinya.

Sempat Gonzales beserta istrinya berkeinginan untuk menunaikan haji tahun 2008, namun Allah berkehendak lain uang yang di dapatkan dari peralihan top skor sebanyak 50 juta digunakan guna membiayai operasi istrinya untuk melahirkan anak keempat, Vanesa Siregar Gonzales .

Menyangkut kebiasaanya dalam pertandingan sepak bola, pemain yang rajin bersih-bersih rumah ini setiap kali berangkat bertanding selalu membawa tasbih di dalam tasnya dan beberapa buku doa sebagai perbekalan. Selain itu tidak seperti pemain muslim lainnya yang sujud syukur ketika menciptakan gol, bagi Gonzales bentuk rasa syukur ketika berhasil mencetak gol adalah dengan mengangkat telunjuknya ke mulut seraya menengadah ke langit, hal ini merupakan isyarat rasa syukur terhadap Allah yang Maha Esa.

Bahkan pada saat membela tim Persib Bandung, pria berkalung ayat kursi ini menggunakan nomor punggung 99. Nomor ini dipilih bukan tanpa alasan, 99 merupakan isyarat asma Allah yang dikenal dengan asmaul husna.

Terkait harapannya ke depan, Gonzales sangat perhatian dengan keluarga “Saya berharap anak-anak menjadi anak yang shaleh dan sehat wal afiyat, semoga Allah melindungi, supaya ketika masalah datang ya cepat hilang” demikian keinginan Gonzales.
Muhammad Yasin

Biodata
Nama Lengkap : Christian Genard Alfaro Gonzales
Istri : Eva Siregar
Anak : Amanda Gonzales ()
Michael Gonzales ()
Fernando`Alvaro ()
Vanesa Siregar Gonzales ()
Karir Klub : 1988-1991 Penarol (Uruguay)
1994-1995 South America (Uruguay)
1995-1998 Huracan de Carientes (Argentina)
1998-2000 South America (Uruguay)
2000-2001 Sport Moldonado (Uruguay)
2001-2002 Campo Mayor (Portugal)
2003-2004 PSM Makassar
2005-2008 Persik Kediri
2009 Persib Bandung
Prestasi : Top Scorer Liga Indonesia (Persik) 2005
Top Scorer Liga Indonesia (Persik) 2006
Top Scorer Liga Indonesia (Persik) 2007
Top Scorer LSI (Persib)2009

Konveksi Kaos

Koko liem Sang Pengembara


Muallaf Liem Hai Thai (Koko Liem)
Mayoritas umat Islam yang mengenyam pendidikan agama Islam tentu pernah mendengar kisah para nabi. Kisah yang biasa disampaikan waktu kecil itu masih mengenang di benak umat Islam setelah dewasa, namun tak banyak orang yang mengambil hikmah dari kisah tersebut.

Berbeda dengan Liem Hai Thai atau yang biasa disapa Koko Liem, kisah para nabi baginya memiliki peran penting dalam menemukan Islam yang realistis.

Koko Liem merupakan anak ketujuh dari sepuluh bersaudara. Ayahnya Liem Guan Ho, seorang suhu Budha terkenal di wilayah Dumai Riau. Beberapa klenteng di wilayah Riau telah menjadi langganan ceramahnya.
Koko Liem memulai pendidikannya di sekolah umum SDN 014 Dumai Barat Riau. Sekolah umum dipilih orangtuanya dikarenakan pemerintahan Soeharto waktu itu melarang pendirian sekolah Mandarin. Sekolah yang dihuni mayoritas umat Islam ini mau tidak mau membawa Koko liem berkenalan dengan Islam.
Rasa penasaran tumbuh dalam hatinya. Setiap pelajaran agama Islam dimulai, ia bersikukuh tidak mau keluar dari ruang sekolah. Dengan khusyuk, anak yang lahir di Dumai, 17 Januari 1979 mendengarkan satu persatu kisah nabi yang disampaikan guru agama.

Kebiasaan ini terus berlanjut hingga Koko Liem melanjutkan pendidikannya ke SMPN Syaikh Umar Dumai Barat Riau. Namun sebagai anak dari suhu Budha, setiap hari minggu Koko Liem diwajibkan oleh orangtuanya untuk berangkat ke sekolah agama Budha di Wihara Dumai Pekanbaru Riau. Diantara dua pendidikan ini ajaran Islamlah yang menurutnya sesuai dengan logika. Ibadah dalam Islam menggunakan satu bahasa berbeda dengan Budha yang menggunakan beragam bahasa sesuai dengan sukunya masing-masing.

Ketertarikan Koko Liem terhadap Islam memuncak saat Hj. Saniati guru agama Islam menceritakan kisah Nabi Ibrahim. Ibrahim dilahirkan bukan dari orangtua yang mengenal Allah. Ayahnya yang bernama Adzar seorang penyembah sekaligus pembuat patung yang dijadikan Tuhan. Akan tetapi Allah memberikan hidayah akal kepada Ibrahim. Secara logika patung yang terbuat dari batu itu tidak mungkin bisa berbicara apalagi menolong hambanya sampai akhirnya Ibrahim menemukan Islam sebagai pegangan hidupnya.

Kondisi ini sama persis dengan apa yang dialami oleh Koko Liem anak dari ayah sang penyembah patung Tao Pekong. “Disinilah akal saya berperan. Disamping Allah memberikan hidayah akal, Ia juga memberi hidayah agama” ujar peran Kyai di Sinetron Kiamat Sudah Dekat 3. Maka pada 21 Juli 1994 ia pergi diam-diam ke Duri Riau yang jaraknya 90 km dari Dumai tempat tinggalnya. Tepat di Masjid Raya Pasar Duri ia mengucapkan kalimat syahadat dihadapan H. Arwan Mahiddin dengan disaksikan oleh ribuan jamaah.

Dengan modal ilmu pengetahuan agama yang diajarkan disekolahnya ditambah dengan bimbingan dari teman-teman muslimnya, anak yang waktu itu masih menginjak kelas 2 SMP berusaha rutin melakukan ibadah salat lima waktu secara sembunyi-sembunyi di kamar atau di rumah temannya.

Suatu hari pemilik nama Islam Muhammad Utsman Anshori ini lupa mengunci pintu kamarnya, seusai Salat Isya tiba-tiba ayahnya masuk dan kaget melihat sajadah dihadapannya beserta pakaian muslim serta peci yang tidak sempat dilepas oleh Koko Liem. “Kamu masuk Islam apa tidak?” bentak ayahnya. Dengan jujur ia membenarkan keislamannya. “Nggak mungkin saya nggak jujur, Islam mengajarkan itu” kenang lulusan S2 Konsentrasi Ilmu Tafsir, Institut Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) Jakarta Selatan. Tak pelak lagi ia langsung diusir oleh ayahnya saat itu juga. Sementara sang ibu tercinta Laihwa hanya diam tidak berkutik melihat anaknya diusir oleh suaminya.

Kurang dua minggu dari keislamannya, Koko Liem dengan pakaian yang menempel di badan dan uang seratus ribu hasil tabungannya berjalan sendiri di kegelapan malam menyusuri sepanjang jalan Dumai yang ditumbuhi banyak pepohonan besar menuju Duri sejauh 90 km. Tidak ada tempat yang dituju saat itu karena ayahnya sudah menghubungi sanak keluarga di Riau untuk tidak menerima Koko Liem anak durhaka yang telah keluar dari agama Budha.

“Saya boleh tidak punya harta, saya boleh tidak punya orangtua tapi jangan sampai saya tidak punya Allah.” ujar finalis mimbar da'i di TPI. Musala demi musala ia singgahi sebagai tempat menginap sementara, sampai akhirnya dihari kedua pengembaraanya Koko Liem singgah di musala Utama Simpang Padang Duri Riau. Di tempat ini ia berkenalan dengan imam musala Ustadz Faisal sekaligus menjadi guru pertama yang mengajarkan banyak hal tentang Islam.
Musala tempat pemeran bintang iklan bersama Dedy Mizwar ini menginap suatu hari mengadakan peringatan hari besar umat Islam yang diisi oleh ustadz Ali Mukhsin pengasuh pondok pesantren Jabal Nur di Kandis Riau. Seusai acara para jamaah memperkenalkan Liem Hai Thai kepada ustadz Ali Mukhsin. Dengan kemurahan hati beliau bersedia mengangkat Koko Liem sebagai anaknya.

Koko Liem kembali menyambung pendidikannya yang terputus sejak kelas 2 SMP ke sekolah baru di kelas 3 Tsanawiyyah YLPI (Yayasan Lembaga Pendidikan Islam) Mutiara Duri Riau. Selama tiga minggu tinggal di ayah angkatnya, Koko Liem mencoba berkunjung ke rumah orangtuanya di jalan Tegalega bukit Datuk Dumai Riau.
Setiba di rumah orangtuanya Koko Liem kembali diusir oleh ayahnya. Namun tindakan ayahnya ini tidak menyurutkan nyali Koko Liem untuk terus menjalin silaturahim dengan orangtua. Tiga hari sekali Koko Liem rutin berkunjung ke rumah orangtuanya. “Kalau kamu diusir dari rumah itu masih mending, Rasul lahir di Makkah ia diusir dari negaranya, hijrah ke Madinah namun kemudian beliau jadi besar” ujar ustadz Ali Mukhsin menyemangati anak angkatnya.

Teringat dengan kisah Nabi Nuh yang disuruh oleh Allah membuat perahu. Sedangkan waktu itu di tempat nabi Nuh tidak ada pohon. Maka nabi Nuh terlebih dahulu menanam pohon. Setelah sekian lama menunggu akhirnya pohon tersebut ditebang dan dijadikan perahu. Waktu yang sangat panjang untuk memperjuangkan perintah Allah. Maka tidak heran jika usia nabi Nuh mencapai 960 tahun. Kisah ini menjadi prinsip suami dari Ima Ismawati. S.Thi ini untuk tetap memperjuangkan silaturahim dengan orangtua. Ia yakin suatu waktu usahanya akan berhasil.
Tiga bulan kemudian keinginan pengasuh Pondok Pesantren Pembinaan Muallaf Shengho Budaya Sentul Selatan Jawa Barat ini terwujud. Ayahnya menerima dengan ikhlas keislaman anaknya. Tapi masalah baru kemudian muncul Bibi dari ayahnya Ako Kotiu memanggil Koko Liem ke rumahnya dan memaksa untuk kembali menyembah Tao Pekong dengan iming-iming uang tiga juta rupiah.

“Bi, jangankan uang tiga juta! andaikan rumah bibi yang besar ini bisa bibi jadikan emas kemudian diberikan kepada saya untuk mengajak saya masuk Budha maka demi Tuhan saya tidak akan meninggalkan agama Islam” tegas penceramah yang pernah mengisi di berbagai televisi dan radio nasional ini sambil meninggalkan bibinya yang terdiam seribu bahasa dan uang yang pada waktu itu jumlahnya sangat besar.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Tsanawiyyah YLPI Riau tahun 1995, Koko Liem merantau ke Banten Jawa Barat untuk mendalami Islam di Pondok Pesantren Daar el Qolam Gintung. Di pondok ini pula Koko Liem berkenalan dengan ustadz Jefry sahabat dekatnya. Selanjutnya pada tahun 1999 Koko Liem merantau kembali. Kali ini Jawa Timur menjadi tempat pilihannya yaitu di Pondok Pesantren Tahfizhul Quran Raudhatul Muchsinin. Dengan waktu hanya 1 tahun 8 bulan Koko Liem berhasil menghafal Alquran 30 juz. Bekal dari hafalan ini memberi kesempatan Koko Liem untuk menerima beasiswa S1 dan S2 di Institut Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) Jakarta Selatan.MUHAMMAD YASIN/ALHIKMAH

Balada Mu'min Mencari Tuhan


Muallaf Muhammad Mu'min
MUHAMMAD MU’MIN. Sosok tinggi besar, lagi tegap ini, merupakan momok paling menakutkan bagi para misionaris, khususnya di Jawa Barat. Sepak terjangnya dalam membabat habis gereja liar, serta mengikis banyak tempat kemunkaran mulai dari tempat miras, judi dan prostitusi, membuat banyak kalangan, termasuk jajaran kepolisian di Jabar, segan pada sosok yang satu ini.

Namun, tak banyak orang tahu jika Mu’min adalah seorang mualaf yang sempat kehausan mencari Tuhan yang hilang. Kisah itu bermula 36 tahun silam, saat usianya menginjak tahun kedelapan.

Saat itu Mu’min kecil yang diberi nama Hanibal, sebagai bentuk rasa kagum ayahnya terhadap pahlawan Muslim Cartago ini, sering mendengar bahwa yang menciptakan matahari, bulan, tumbuh-tumbuhan dan manusia adalah Tuhan. Maka ia bertanya pada ayahnya, Sahal, “Pak, Tuhan itu setinggi apa?” Sang ayah yang beragama Kristen malah terpaku diam. Ia tak bisa menjawab pertanyaan polos dari anaknya. Sikap ayah ini membuat Hanibal kecewa.

Suatu hari, saat Hanibal berjalan di trotoar Kosambi, Bandung, tiba-tiba pandangannya tertarik pada sebuah buku yang dijual di emperan jalan. Buku tersebut mengisahkan dua orang anak yang baik dan nakal. Anak yang baik ini sering melakukan sembahyang sedangkan anak nakal banyak melawan kehendak orangtua dan tidak mau sembahyang.

Kedua anak ini kemudian tumbuh besar. Anak yang baik menikah dengan seorang wanita berjilbab kemudian membangun rumah ibadah dan banyak membantu orang kesusahan. Sedangkan anak yang nakal tumbuh dewasa dengan kriminalitas, suka mabuk, berzina dan durhaka pada orangtua.

Keduanya kemudian meninggal. Anak yang baik dimasukan ke dalam surga sebaliknya anak yang durhaka dimasukan ke dalam neraka. Di dalam surga anak yang baik mendapatkan pahala dari apa yang ia lakukan di dunia, sebaliknya anak yang durhaka disiksa akibat zina, mabuk dan melawan orangtua.

Kisah ini akhirnya masuk di dalam memori anak yang sekolah di SD Katolik Dwisakti ini. Ia berpikir “Apakah hidup saya begini setelah mati? Apakah saya masuk surga atau neraka?” Saat itu ia tidak menyadari bahwa yang dibacanya adalah buku cerita Islam. Ia hanya berangan bahwa kelak ingin seperti si anak baik yang menikah dengan wanita berjilbab, membangun tempat ibadah dan masuk surga.

Menginjak usia 11 tahun, Hanibal baru mengetahui bahwa ada beberapa agama yang terdapat di Indonesia. Ia pun baru menyadari bahwa dirinya penganut agama Kristen. Saban Minggu Hanibal rajin berangkat ke Gereja. Sabtunya, ia tidak ketinggalan mengikuti Persekutuan, kegiatan ektra sekolah yang diadakan di ruangan khusus. Sedangkan di rumah ia sangat rajin membaca kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Kegelisahan Hanibal
Rasa bosan hinggap di benaknya, setiap kali mendengar ceramah pendeta. Materi yang disampaikan hanya berkutat seputar mukjizat Yesus yang bisa membangkitkan orang mati dan bisa membuat orang buta dapat melihat kembali. Ia juga mulai berpikir kenapa harus ada orang yang baik dan jahat serta kaya dan miskin. Hal ini membuat hatinya menjadi gelisah.

Satu waktu, ia bertengkar hebat dengan ibundanya, Yuliana. Pasalnya Hanibal memisahkan piring karena tidak mau makan daging babi yang dimasak sang ibu. Alasannya hal itu bertentangan dengan Perjanjian Lama yang mengharamkan babi. “Itukan Perjanjian Lama, sekarang itu Perjanjian Baru! yang tidak makan babi itu orang Islam!” Kenang Komandan BAP (Badan Anti Pendzoliman) Forum Ulama Umat Indonesia ini, mengutip jawaban ibunya.
Beranjak remaja, kegelisahan Hanibal semakin menjadi-jadi. Di saat usianya menginjak 15 tahun ia sampai pada kesimpulan semua agama adalah benar. Buku-buku agama, sastra, filsafat dan politik pernah dilahap, sekedar mencari tahu agama apakah yang paling benar.

Setahun berlalu, setelah banyak membaca buku tentang Budha dan Tao akhirnya Hanibal tertarik pada ajaran Budha. “Saya belajar wedanya, sampai saya hanya makan nasi dengan garam saja kemudian belajar meditasi secara rahasia supaya orangtua tidak tau,” ungkap Kepala Bagian kemahasiswaan Universitas Sangga Buana (USB) Bandung ini, akibat doktrin Budha yang dipelajarinya waktu itu.

Ini pun tak membuat kegelisahan hatinya terobati. “Siapa Tuhan, Tuhan Di mana, Tuhan setinggi apa? Siapa aku? kenapa aku diciptakan? kenapa harus ada yang jahat dan yang baik?" Pertanyaan ini selalu saja muncul di benaknya waktu itu. Sehingga saat ia melakukan dosa, merasa dirinya menjadi orang yang sangat kotor.

Kegelisahan Hanibal memuncak. Ia berteriak dalam doanya, “Biarkan aku masuk neraka asalkan semua manusia masuk surga! Tuhan mulai hari ini aku Atheis!” Setelah itu, ia menjadi pendiam, dan kerap mengurung diri bertemankan buku-buku filsafat.

Saat menempuh jenjang Sekolah Menengah Atas di SMA 6 Pasirkaliki, Bandung, ia mulai mengenal murid-murid dari beragam agama dan strata sosial. Banyak di antara murid-murid miskin di sekolahnya yang beragama Islam. karena selama sekolah SD dan SMP mayoritas teman sekolahnya berasal dari keluarga berada. Hanibal terenyuh menyaksikan kondisi para siswa yang terus berjuang, meskipun dengan kondisi seadanya.

Seperti lazimnya sekolah umum, ketika pelajaran agama dimulai para siswa mengikuti pelajaran sesuai kepercayaannya masing-masing. Hanibal yang kadung mendeklarasikan diri sebagai Atheis, tetap mengikuti pelajaran agama Kristen. Tanpa diduga, saat ibu guru agama sekaligus pendeta itu bertanya, “Siapa yang mengaku Yesus sebagai Tuhan angkat tangan” Hanibal hanya diam seribu bahasa. Sementara, semua murid di sekeliling dia, mengangkat tangan.

Pertanyaan itu pun diulang berkali-kali oleh pendeta sembari menjelaskan tentang kekuasaan Yesus dengan harapan Hanibal mau mengangkat tangan. Namun ia bersikukuh dengan pendiriannya. “Kenapa kamu ngga angkat tangan?” tanya pendeta keheranan. “Yesus bukan Tuhan, dia hanya manusia yang mengaku Nabi,” Jawab Hanibal tegas sambil berdiri dan langsung keluar meninggalkan kelas. “Saya tidak peduli nilai rapot saya agamanya merah,” kenang ayah dua anak ini sambil tertawa.

Kejadian ini kemudian berulang ditempat yang berbeda. Saat Hanibal mengikuti kegiatan Persekutuan, seorang pendeta laki-laki di sela-sela ceramahnya mengatakan “Siapa yang mengaku Yesus sebagai Tuhan angkat tangan?” Semua peserta Persekutuan mengangkat tangan kecuali Hanibal. Pertanyaan yang diulang-ulang sampai setengah jam, hanya untuk menunggu kepastian Hanibal sungguh sia-sia. Ia tetap konsisten dengan sikapnya sampai pergi meninggalkan ruangan.

Tidak hanya di sekolah, ternyata sikap nyeleneh Hanibal ditunjukan sewaktu ia menghadiri ceramah umum oleh pendeta terkenal, Yusuf Roni, di GKP Pasirkaliki, Bandung. Acara yang dihadiri oleh ribuan jemaat itu menampilkan seseorang yang lumpuh. Dengan doa Pendeta Yusuf Romi, “Sembuh kamu atas nama kekuatan Yesus” orang lumpuh yang sedang duduk di kursi roda itu langsung berdiri dan berjalan, sontak ribuan pasang mata terpana.

“Siapa yang mengaku Yesus sebagai Tuhan, semuanya berdiri” ucap Pendeta mengakhiri aksinya. Serentak semua jemaat berdiri, dan lagi-lagi Hanibal hanya duduk terdiam. Sikapnya itu diketahui setelah panitia acara memeriksa setiap jemaat. Pendeta itu kemudian kembali menjelaskan tentang keagungan Yesus dengan harapan Hanibal dapat berdiri. Akhirnya Ia pun berdiri. Namun, bukan untuk mengakui Yesus sebagai Tuhan, melainkan pergi meninggalkan acara.

Sampai suatu waktu
Kegelisahan, kemarahan dan kekecewaan bertumpuk dalam benak. Pencariannya menemukan Tuhan, ternyata masih belum mendapat titik terang. Sampai satu waktu, saat usia 21 tahun, ia bermimpi. Dalam tidurnya ia didatangi Yesus. Sosok yang dituhankan oleh umat Kristen itu mengambil tangan Hanibal, lantas membawanya ke sebuah cahaya yang terlihat agung. “Assalamualaikum,” sapa Yesus. “Wa’alikum salam,” Jawab cahaya itu. Yesus kemudian mengangkat suara “Ya Muhammad saya serahkan anak ini ke dalam Islam untuk dibina dan dikembangkan dalam Islam. Kasihan anak ini, sepanjang hidupnya dihabiskan hanya untuk mencari Tuhan.” kemudian di dalam mimpi tersebut Hanibal akhirnya dibawa ke dalam cahaya agung tersebut.

Keesokan harinya, tiba-tiba tekad Hanibal untuk memeluk Islam begitu menggebu. Ia langsung mendatangi teman SMA-nya yang beragama Islam, Evi Isviantini. Melalui Evi ia dibawa menghadap ayahnya, Ustadz Ahim, yang juga tokoh Persatuan Islam (PERSIS) di jalan Jurang Gang Namapura, Bandung. Dari Ustadz ini kemudian Hanibal mengikrarkan syahadat di Kantor Urusan Agama (KUA) Cipaganti, Bandung, Agustus tahun 1986 atau 18 Dzulhijjah 1407. Untuk memantapkan ke-Islamannya, nama Hanibal pun berganti menjadi Muhammad Mu’min, dan tak lama setelahnya ia kemudian dikhitan.

Saat orangtua mengetahui keislaman Mu’min, sang ayah terlihat marah. Namun pada akhirnya merelakan keislaman dia. Sang ibu pun hanya pasrah. “Ya dari pada gila,” ungkap ibunya saat itu, karena melihat Mu’min sering menyendiri dan terlihat depresi.

Muhammad Mu’min akhirnya menemukan Tuhan yang hilang. 24 Agustus 1986, Mu’min lantas mempersunting teman yang sangat berjasa dalam proses keislamannya, Evi Isvianti. Mereka pun sementara tinggal di kediaman ustadz Ahim, ayahanda Evi. Di rumah ini pula, pria yang diamanahi sebagai ketua AGAP (Aliansi Gerakan Anti pemurtadan) ini banyak belajar shalat, surat Al-Fatihah dan Iqra, dari ustadz Ahim, guru sekaligus bapak mertuanya. •
MUHAMMAD YASIN/ALHIKMAH
alhikmahonline.com

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Sweet Tomatoes Printable Coupons